Tuesday 17 July 2012

Sekilas Perkembangan Intlektuallisme di Iran


Oleh Syifaul Wahid.[1]

Pendahuluan
Islam menempatkan ilmu dan pengetahuan dalam kedudukan yang tinggi. Bahkan orang melangkah untuk menuntut ilmu, langkahnya dihitung sebagai perbuatan amal. Dalam peradaban umat Islam, ilmu pengetahuan mempunyai peranan yang penting. Ilmu pengetahuan berfungsi sebagai penyangga keberlangsungan peradaban Islam di suatu kawasan. Dengan adanya ilmu pengetahuan yang berkembang  dan tradisi-tradisi intlektualisme dalam suatu peradaban, sudah barang tentu peradaban tersebut akan berkembang dengan baik.
Intlektualisme yang berkembang tidak hanya berupa perkembangan ilmu-ilmu keagamaan yang berdasarkan teks-teks agama (al-Qur,an dan Sunnah). Melainkan juga perkembangan pengetahuan yanga berdasarkan teks-teks agama dipadukan dengan penggunaan akal rasional secara proporsional. Dengan demikian, perkembangan intlektual tidak saling bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan.
Secara geografis Iran (Persia) terletak dikawasan benua asia bagian barat yang dikenal dengan kawasan timur tengah (middle-east). Sejarah Iran sudah bermula sebelum Islam lahir. Saat itu terdapat kerajaan Persia yang menempati wilayah Iran dan sekitarnya. Setelah  Islam masuk ke Iran, lambat laun wilayah ini menjadi salah satu kekuatan dalam Islam yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan Islam. Dari berbagai uraian diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal, yakni sejarah singkat Iran, perkembangan intlektual di Iran dan kondisi intlektual keagamaan di Iran.



Pembahasan
A.    Sejarah Singkat Iran
Bangsa Iran berasal dari Ras Arya yang merupakan salah satu ras Indo-European. Migrasi bangsa Arya ke berbagai belahan bumi seperti ke Asia kecil dan India dimulai pada 2.500 Sebelum Masehi (SM). Peradaban di dataran tinggi Iran dimulai 600 tahun SM di mana saat itu terdapat 2 kerajaan yakni Parsa di sebelah Selatan dan Medes di Timur Laut Iran.
Pada tahun 550 SM, Cyrus the Great berhasil merebut 2 kerajaan Persia tersebut, namun tidak berhasil memperpanjang kekuasaannya. Pada 521 SM Raja Darius mendirikan Dinasti Achaemenid hingga Darius III. Pada 323 SM, Alexander the Great berhasil menaklukan Dinasti Achaemenid. Di masa Dinasti Parthian (Raja Mirthridates II) berhasil menjalin hubungan dengan Cina dan Roma yang dikenal dengan perdagangan sutranya (Silk Road). Pada 220 SM, Dinasti Sassanid mengakhiri kejayaan Dinasti Parthian.
Setelah peperangan selama 4 abad, seiring memudarnya Kerajaan Romawi, Kerajaan Persia hancur dan diinvasi oleh Kerajaan Mesir dan Arab lainnya dan berhasil menyebarkan agama Islam. Dari abad 7 hingga abad 16 Masehi, berbagai Dinasti keturunan Arab, Turki dan Mongol saling berkuasa yakni Dinasti Abbasid, Dinasti Saffarian, Dinasti Samanid. Pada abad ke 16 khususnya pada masa Kerajaan Savafid, tercapai masa kejayaan dalam bidang kerajinan dan pembuatan karpet. Pada abad 17 Dinasti Afshar berkuasa, namun kemudian digantikan oleh Karim Khan Zand yang mendirikan Dinasti Zand di Selatan. Di sebelah Utara Suku Qajar berhasil mematahkan Dinasti Zand dan mendirikan Dinasti Qajar hingga abad 19 dengan Rajanya yang terakhir bernama Ahmad Shah.
Pada tahun 1921, terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh Reza Shah Pahlevi yang kemudian menjatuhkan Ahmad Shah dan mengangkat dirinya sebagai Raja Iran. Pada 1941, anaknya bernama Mohammad Reza Shah naik tahta hingga terjadi Revolusi Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Imam Khomeini pada 1979. Berbagai peristiwa menonjol sejak itu adalah pendudukan Kedubes Amerika Serikat, 1979-1981, invasi Irak terhadap Iran pada 1980 yang menimbulkan perang selama 8 tahun (1980-1988) dan sanksi ekonomi (energi) Amerika sejak 1996.[2]

B.     Perkembangan Intelektual di Iran.
Telah di akui, bahwa salah satu mercusuar peradaban dunia pra Islam adalah Persia, disamping Yunani, Mesir, India, dan Romawi. Tradisi keilmuan yang menjadi ciri khas sebuah perdaban maju, telah mewarnai masyarakat Persia sehingga saat Islam menjadi agama yang mendominasi di wilayahnya, tradisi keilmuan tersebut tetap terjaga dengan baik. Bahkan, dapat dikatakan, mayoritas intelektual Islam klasik adalah bangsa non Arab yakni Persia. Jika kita telusuri, perkembangan matang keilmuan Islam di tangan bangsa Persia, selain memang penghargaan mereka terhadap ilmu pengetahuan, adalah daya tarik Islam yang mengedepankan nalar dan pemikiran dengan seabrek argumentasi-argumentasi untuk membuktikan doktrin-doktrinya.
Sifat elastisitas namun penuh filter dari ajaran Islam, tidak menafikan pentingnya ilmu pengetahuan, bahkan dengan kreatifitas yang maju, para pemikir Islam telah berhasil memberikan sintesa besar antara nalar dan wahyu yang dalam tradisi-tradisi agama lain, selalu dipandang saling berseberangan. Untuk itu, jika dirunut secara kronologis, perkembangan dan kemajuan peradaban Islam dalam ilmu pengetahuan, sulit diidentifikasi dimana puncak kejayaanya. Karena, bagaikan air ia terus mengalir dan senantiasa memperbaharui dirinya dari masa ke masa agar tetap urgen dan tidak ketinggalan zaman.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tradisi keilmuan tidak pernah sirna di dunia Islam, terutama di Persia (Iran) hingga kini, di mana beragam disiplin ilmu-ilmu kebanggan Islam yang bersifat aqliah maupun naqliyah mendapat tempat yang semestinya. Ini membuktikan bahwa usaha ijtihadi tidak pernah tertutup. Dalam filsafat misalnya, nalar yang sering dituduh sesat dan tidak agamis ini pasca serangan al-Ghazali, tetap mendapat tempat di Persia, bahkan mengalami kemajuan yang luar biasa, sehingga bagi sebagian peneliti filsafat yang khas Islami justru baru berkembang beberapa abad kemudian di mana para pemikir Syiah menjadi pelopor utamanya.
 Diantaranya adalah Suhrawardi (1153-1191 M) yang berhasil membangun aliran baru dalam filsafat yang dikenal dengan Hikmah Isyraqiyah (Illuminatif), kemudian al-Thusi (1201-1274 M), pemikir besar Syiah, yang mengkaji nalar filosofis alIran masyaiyyah (Parepatetik) cetusan Abu Ali ibn Sina (980-1037 M). Pada abad yang sama, di wilayah Barat, tepatnya Andalusia, nalar irfani (gnosis) dirumuskan secara kreatif oleh Ibn ‘Arabi (1165-1240 M).
Dan puncaknya pada sintesa orisinil dari pemikiran besar sang filosof agung Mulla Sadra (979-1050 H/1572-1640 M), yang mencetuskan tradisi filosofis baru yang hingga kini mewarnai dan menjadi anutan resmi filsafat di Persia yang dikenal dengan Hikmah Muta’aliyah (Teosofi Transenden). Atas usahanya tersebut, beliau mendapat gelar Shadr al-Muta’allihin yang berarti Sang Pemimpin Filosof Ketuhanan. Hikmah Muta’aliyah ini terus disosialisasikan dan dikembangkan oleh para murid Mulla Sadra yang tersebar di berbagai kota, seperti Mulla Muhsin Faidz Kasyani (1007-1091 H), Mulla Abdul Razaq Lahiji (w. 1071 H), Muhammad bin ‘Ali Ridho bin Agha Jhani, dan Mulla Husayn Tankobani (w. 1105 H). Berikutnya adalah Qadhi Said Al-Qommi (w. 1090 H) dan Agha Muhammad Beyd Abadi (w. 1097 H). Menariknya, karena serangan dari beberapa ulama ortodoks terhadap nalar filosofis, para filosof ini kemudian juga mendalami ilmu-ilmu syariat seperti hadits, tafsir, fiqih dan kalam, serta memberikan dasar-dasar pijakan yang kuat bagi pengkajian kalam dari ilmu-ilmu tersebut.[3]
Meskipun memiliki perjalanan panjang, tradisi filsafat Islam di Persia ini, mengalami perkembangan pesat pada saat Dinasti Safawi memerintah (1502 M-1722 M). Aneka aliran pemikiran berkembang dan berpusat di Isfahan sehingga dikenal sebagai mazhab Isfahan, dengan tokohnya adalah Mir Damad (w. 1041 H/1631 M) dan Mir Findiriski (w. 1050 H/1641 M). Inilah cikal bakal, untuk timbulnya suatu sintesa filosofis besar yang dicetuskan Mulla Sadra. Sejak Dinasti Qajar berkuasa (1786-1925 M), tradisi tersebut tetap dan terus berkembang. Teheran secara bertahap meningkat menjadi pusat studi filsafat. Sejumlah guru besar terkenal muncul dan menghiasi dunia pemikiran Islam seperti Mahdi Naraqi, Mulla Muhammad Kazhim Khorasani, Mulla Muhammad Kazhim Sabzewari, Mulla Muhammad Reza Sabzewari, Mulla Muhammad Shadiq Shabagh Sabzewari, Syekh Ali Fadhil Tibti, Mulla Muhammad Shadiq Hakim, Mirza Hakim Abbas Darabi, Mirza Muhammad Yazdi, Mulla Ghulam Husein, dan banyak lagi tokoh lainnya.
Di akhir priode Dinasti Qajar hingga Dinasti Pahlevi berkuasa pada tahun 1925 M, kita juga mengenal sederetan pemikir besar yang antara lain seperti Mirza Mahdi Asytiyani (1306-1372 H), Sayyed Muhammad Kazim ‘Assar (1305-1394 H), dan Sayyid Abul Hasan Qazwini (w. 1394 H/1975 M). Dengan seabrek fakta ini, Seyyed Hossein Nasr  meyimpulkan dengan tegas bahwa tradisi keilmuan kaum muslimin tetap terjaga dan bertahan sejak masa klasik hingga kini. Tidak ada bukti kuat bahwa tradisi intelektual Islam tersebut pernah vakum secara keseluruhan di dunia Muslim, meskipun harus diakui terjadi pasang surut perkembangan di beberapa wilayah kekuasaan Islam.
Meskipun begitu, harus diakui bahwa perkembangan ilmu-ilmu Islam mengalami pasang surut antara keilmuan syariat (seperti fiqih dan ushul fiqih) dengan ilmu-ilmu filsafat. Adakalanya nalar filosofis mendapat tempat tertinggi, tetapi ada masanya pula ia tersingkirkan dan diganti oleh nalar syariat. Di akhir Dinasti Qajar dan memasuki Dinasti Pahlevi berkuasa (1925-1979 M), kondisi intelektual di Iran dan Irak lesu dari pemikIran filsafat dan ‘Irfan, Bahkan para ulama Syiah ortodoks memandang negative serta menolak pengajaran filsafat di hauzah-hauzah ilmiah, baik di Iran maupun di Irak. Sebagai gantinya, para ulama Syiah memuliakan ilmu fiqih dan ushul fiqih untuk mencapai gelar mujtahid. Kondisi ini disikapi secara serius oleh ‘Allamah Thabathaba’i. Ia berjuang keras mengembalikan filsafat kepada singgasananya. Usaha ini mendapat respon keras dari sebagian ulama, termasuk Ayatullah Burujerdi, seorang marja taklid yang paling berpengaruh saat itu. Namun, dengan segala kegigihannya, Allamah Thabthabai berhasil meluluhkan perlawanan mereka dan membuktikan pentingnya kembali di ajarkan filsafat di hauzah-hauzah ilmiah Syiah. Bahkan, kegigihannya mengajarkan filsafat ini, menjadi alasan kuat mengapa Allamah Thabathabi tidak menjadi marja’.
Buah dari usaha tersebut adalah sederetan tokoh kaliber dunia yang diakui seperti Ayatullah Ali Khamene’i, Ayatullah Murtadha Muthahhari, Ayatullah Behesyti, Ayatullah Behjat, Ayatullah Montazeri, Ayatullah Ja’far Subhani, Ayatullah Nasir Makarim Syirazi, Ayatullah Jalaluddin Asytiyani, Ayatullah Mehdi Ha’eri Yazdi, Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Ayatullah Fadhel Lankarani, Ayatullah Musawi Ardabeli, Ayatullah Ibrahim Amini, Ayatullah Hasan Zadeh Amoli, Ayatullah Jawadi Amoli, dan banyak lagi lainya. Mereka inilah yang hingga saat ini menjadi pewaris tradisi keilmuan di Iran. Menariknya, pada saat ini, kekayaan tradisi keilmuan Iran juga di masuki oleh pemikiran-pemikiran komparatif ilmu-ilmu modern dan filsafat Barat. Materialisme, eksistensialisme, marxisme, positvisme, dan beberapa aliran pemikIran Barat lainnya mulai diulas dan dikomentari serta dikritisi oleh para mullah ini. Sehingga tidaklah menjadi asing di tanah Iran untuk mengutarakan pikiran-pikiran seperti Sartre, Immanuel Kant, Descartes, Charles Darwin, Betrand Russel, Thomas Aquinas, Fransisco Bacon, bahkan Karl Marx atau Nitszhe, dan lainnya.
Untuk lebih jauh mengetahui bagaimana tradisi keilmuan di Iran, Muhsin Labib memetakan enam corak pemikiran yang mewarnai Iran sebagai berikut:
  1. Rasionalisme-Tekstualisme. Corak Ini cenderung menjadikan rasio sebagai dasar pemikiran, yang kemudian mengaitkannya dengan teks-teks agama sebagai pembenarnya. Tokohnya antara lain Ayatullah Murtadha Muthahhari dan Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari.
  2. Tekstualisme-Rasionalisme. Corak ini sebaliknya menjadikan teks-teks agama sebagai postulat dan menjadikan rasio sebagai alat pendampingnya. Tokohnya adalah Ayatullah Nashir Makarim Syirazi dan Ayatullah Ja’far Subhani.
  3. Tekstualisme–Rasionalisme–Teosofisme. Ini merupakan corak pemikiran yang menggabungkan rasio, teks-teks agama dan ‘irfan. Tokohnya adalah Ayatullah Jawadi Amuli.
  4. Teosofisme. AlIran ini mengutamakan ‘irfan dalam memahami realitas. Tokohnya adalah Ayatullah Hasan Zadeh Amuli.
  5. Rasionalisme-Modernisme. Pemikiran ini diisi oleh sejumlah filosof yang terdidik secara modern dan pernah berguru kepada ‘Allamah Thabathaba’i seperti Ayatullah Mehdi Ha’eri Yazdi dan Seyyed Hossein Nasr.
  6. Neo-Parapatetisme. Ini adalah aliran yang secara metodologis hampir sama dengan pemikIran Ibn Sina. Sebab, aliran ini sering mengandalkan deduksi dalam telaahannya. Salah satu tokohnya adalah Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi.
Sedangkan, berkaitan dengan perkembangan Sadraisme (pengaruh tradisi filsafat Mulla Sadra), pada saat ini pemikir-pemikir Iran terbagi atas beberapa kelompok.Pertama, kelompok mediator murni filsafat Mulla Shadra. Kelompok ini hanya mengajarkan dan menguraikan pandangan Sadra tanpa melakukan penambahan dan kritik. Kelompok ini seperti Ayatullah Hasan Zadeh Amuli. Kedua, kelompok kritikus Sadra. Kelompok ini mengkritisi sebagian argumen Mulla Shadra dan sistematika bukunya, terutama tentang pola pembagian dan pengurutan sub-tema. Filosof yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Ayatullah Jawadi Amuli. Dan ketiga, kelompok pembaharu. Yaitu kelompok yang melakukan kritik dan berusaha mengubah sebagian struktur bangunan filsafat dengan menawarkan sistematika baru dalam penyajian dan pengajaran filsafat Islam. Kelompok ini dipelopori oleh Ayatullah Muhammad Taqi Mizbah Yazdi. Meskipun demikian, ketiga kelompok ini menyepakati tema-tema yang merupakan prinsip utama dalam Mazhab Qum.
Jika kita cermati, salah satu kelebihan Syiah adalah doktrin keterbukaan pintu ijtihad dan keharusan adanya faqih dalam setiap masa, sehingga membuat komunitas ini senantiasa berusaha dengan semaksimal mungkin menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung tumbuh suburnya tradisi keilmuan sebagai sayarat penting melahirkan para faqih dan ulama-ulama yang mumpuni dalam Islam.

C.     Kondisi Intlektualisme Keagamaan di Iran.
Dalam strata sosial-keagamaan masyarakat Islam Syiah terbagi pada tiga golongan, yaitu: pertama, strata elit yang disebut mujtahid. Kedua, strata menengah yang disebut muhtath, dan ketiga, strata awam yang disebut muqallid. Mujtahid adalah orang yang memiliki kemampuan berijtihad. Yaitu pribadi-pribadi yang memiliki kemampuan untuk mengistinbath (mengeluarkan) syariat Islam dari sumber-sumbernya yang asli (al-Quran, sunnah, ijma dan akal). Dalam konsep Syiah, ijtihad selalu terbuka, tetapi tidak semua orang dipandang mampu melakukannya.
Orang yang tidak mampu inilah yang disebut Para muqallid, yaitumasyarakat umum yang tidak memiliki kompetensi secara intelektual maupun keagamaan untuk menemukan hukum-hukum Tuhan dari sumbernya sebagai sarana untuk pengabdian dalam ibadah kepada Allah swt. Karenaya para muqallidadalah orang yang tidak mampu berijtihad, maka harus menyerahkan urusannya kepada ulama mujtahid yang disebut marja’. Kepada marja’, mereka bukan saja menyerahkan keputusan-keputusan agama, melainkan juga memberikan zakat dan khumus. Tetapi, kalau ulama itu cacat atau bersalah, umat dengan serentak akan meningggalkan ulama tersebut. Sistem ini melahirkan ulama yang secara alami terseleksi, bebas dari penguasa, dan berakar di masyarakat. Adapun muhtath adalah lapisan tengah yang memilki kemampuan untuk memilih dan memilah pandangan para mujtahid (marja’).
Seorang alim yang memenuhi kriteria-kriteria dalam konsep Wilayah al-Faqih biasanya menjadi marja’`i taqlid yang bergelar mujtahid atau yang lebih popular dengan sebutan Ayatullah. Kepada merekalah, masyarakat umum bertaklid dalam urusan ibadah praktis individual mereka. Konsep taqlid secara umum diterjemahkan sebagai peniruan atau pengikutan,  lebih tepat lagi bermakna bertindak selaras dengan aturan-aturan yang ditetapkan mujtahid yang telah dipilih seeorang untuk ditiru atau diikuti. Kandungan konsep ini dirumuskan secara panjang lebar oleh Murtadha Ansari, dan pemikirannya membentuk pijakan bagi strukturisasi dan organisasi lembaga keagamaan dalam penjenjangan tidak resmi.
Terkadang terdapat sumber taklid tertinggi pada puncak piramid. Penjenjangan ini tercapai lewat sejenis kesepakatan tidak resmi dan alami. Kekuatan para ulama semakin menguat pada 1978 dan pasca revolusi Iran pada 1979, yang mana dewan ulama memiliki suatu lembaga sangat kuat yang dapat menyebarkan pemikIran dan perintah mereka dengan cepat ke seluruh negeri.[4]
Dengan berkembangnya kekuasaan lembaga keagamaan, timbul suatu perdebatan sampai sejauh mana ijtihad dibolehkan, yakni apakah dalam suatu situasi baru ulama pada masa itu bisa menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam suatu cara yang baru? Menjelang tahun 1600 suatu mazhab hukum terbentuk dan menghendaki pembatasan hak melakukan penyesuaian baru syariah dan mewajibkan ulama hanya mengikuti putusan-putusan para Imam seperti yang terdapat dalam laporan-laporan yang diriwayatkan dari mereka. Mazhab ini dikenal sebagai mazhab Akhbari,dan berpengaruh pada masa keruntuhan dinasti Safawi (1722) dan di sebagian besar abad ke-18. [5]
Periode sejak kejatuhan dinasti Safawi hingga berkuasanya dinasti Qajar pada penghujung abad ke-18 merupakan masa yang sulit bagi ulama Syiah Imamiyah, karena Iran menjadi sasaran para penyerbu dan penguasa Afghan yang sebagian besarnya bersimpati kepada Sunni dan mencabut beberapa hak istimewa ulama Imamiyah. Namun dipenghujung abad ke-18, suatu mazhab muncul di kalangan Syiah Imamiyah Irak yang dikenal sebagai mazhab Ushuli. Mazhab ini memandang bahwa ulama-ulama tertentu memiliki hak ijtihad, dan bahwa kaum Muslim awam mesti meniru atau mengikuti keputusan-keputusan para mujtahid maupun keputusan para Imam,  bahkan setiap Muslim harus memilih seorang mujtahid untuk di-taklid-i. Di bawah Syah-Syah Qajar, mazhab ushuli sangat berpengaruh, dan ulama memperoleh kembali kekuasaan dan hak-hak istimewa yang telah hilang.[6]
Demi memenuhi tuntutan pengkaderan ulama, maka masyarakat dan ulama-ulama Syiah berinisiatif mengembangkan pusat pendidikan tradisional yang dikenal dengan hauzah yang dipusatkan dibeberapa kota suci tertentu seperti Qum dan Masyhad di Iran, serta hauzah Najaf dan hauzah Karbala di Irak. Sejak Revolusi Islam, posisi hauzah semakin kuat, bahkan para ulama yang membawahi pusat-pusat hauzah ini tergabung dalam suatu badan yang disebut Majma al-Mudarrisin. Dengan perannya yang dominan tersebut, maka ulama memiliki kekuatan ideologis di tengah masyarakat sekaligus memiliki kekuatan mobilisasi sosial yang luar biasa yang dapat berimbas pada dimensi politik, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.[7] Menjadi faqih bukanlah pemberian gratis ilahiah, melainkan usaha ikhtiari yang penuh perjuangan dan pengorbanan untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan, baik itu pada dimensi keilmuan, keterampilan, maupun kepribadian. Karenanya, program pendidikan yang sitematis dan integratif diperlukan untuk memberikan sarana bagi terciptanya pribadi unggul dalam komunitas Islam.
Tiga level, atau periode-periode (halaqat), diperlukan seorang calon mujtahid Syiah untuk menuntaskan studinya. Tidak ada ujian ataupun batas waktu tertentu untuk menyelesaikan pelajaran. Tujuan para pelajar sangat jelas, ia harus memperoleh pelajaran yang cukup untuk menjadi seorang mujtahid, sebuah gelar “yang hanya dicapai oleh pelajar-pelajar yang paling cemerlang”. Rata-rata, dua periode kombinasi pertama memerlukan minimal waktu selama 10 tahun. Para pelajar memulainya pada usia muda, secara umum di antara 14 hingga 20 tahun.
Pada level pertama disebut muqaddimah; para siswa mempelajari tata bahasa, tata kalimat (sintaksis), retorika dan logika. Dalam bidang tata bahasa di antaranya adalah karya Ibnu Hisyam (w. 761/1360) Qatrh al-Nida dan al-Ajurumiyah, sebagai ringkasan dari karya Ibnu Malik (w. 672/1273) Alfiah. Dalam bidang retorika di antaranya adalah karya Taftazani (w. 686/1287) al-Muthawwal dan al-Mukhtashar, danJawahir al-Balaghah karya al-Hisyam dari abad ke-14. Dalam logika, para siswa membaca HaSyiah karya Najafi (w. 981/1574), dan Syamsiyyah karya Quthb al-Din al-RaziDalam Ushul al-Fiqh, digunakan kitab Ma‘alim karya Hasan ibn al-Syahid al-Tsani (w. 966/1559), kitab Ushul al-Istinbath karya Haidari, dan karya Muhammad Baqir al-Shadr, al-Ma‘alim al-Jadida. Dalam Fiqh, digunakan tulisan al-‘Allamah al-Hilli (w. 726/1325) Tabsyirah dan Mukhtasar al-Naf, tulisan Muhammad Khazim al-Thabathaba‘i (w. 1337/1919) al-‘Urwah al-Wutsqa, dan karya Muhsin al-Hakim (w. 1970) Minhaj al-Shalihin.
Periode kedua disebut suthuh. Selain ushul al-fiqh, dalam jenjang suthuh juga diperkenalkan studi substansi fiqih (yurisprudensi) deduktif (al-fiqh al-istidlal). Secara umum, kursus-kursus diselenggarakan berbentuk tutorial yang melibatkan 7 hingga 10 siswa, jarang-jarang lebih dari 20 orang, sesi-sesi berakhir antara setengah jam hingga satu jam. Para siswa yang absen berulang-ulang atau yang tampaknya tidak mampu melanjutkan kelas berikutnya disarankan untuk mengundurkan diri, atau kembali pada kelas yang lebih mudah. Shutuh membutuhkan tiga hingga lima tahun, terkadang lebih lama lagi. Pada akhir periode tersebut, para siswa akan dipertimbangkan sebagai seorang murahiq, yang bermakna “dewasa”. Gelar ini menunjukkan batas kemampuannya pada kedewasaan yang dituntut untuk berijtihad.
Tahap ketiga, yang merupakan bagian paling maju dari kurikulum, seperti dapat diperhatikan, sang guru pada tingkat ketiga ini mutlak bebas untuk merencanakan kursusnya sendiri, memilih argumen-argumen yang disukainya, dan berakhir dengan sebuah opini baru, dan dengan pendekatan yang matang yang akan sangat berbeda dengan pendahulu-pendahulunya. Dengan menyelesaikan ketiga jenjang pendidikan tersebut, maka seorang pelajar telah menyematkan kompetensi yang diakui. Dalam kondisi ini, ia telah siap untuk berjuang dan berkarya secara kreatif mengiplementasikan keilmuan untuk diuji riruang terbuka masyarakat Syiah. Di sini, ia bergerak menuju hirarki terhormat para ulama, mujtahid, dan marja’. Kecenderungan umum menunjukkan, hierarki di dalam mujtahid-mujtahidmerefleksikan tahap-tahap awal masa pengajaran.
Murid-murid yang bangkit melewati beragam tahap masa pengajaran melalui sebuah proses yang terutama berdasar pada beraneka kriteria yang mengakui bakat/kecerdasan untuk berijtihaddidasarkan pada reputasi dan pengakuan (atasnya). Sebagaimana dengan murahikmenuju mujtahid, demikian pula dengan pendakian dari mujtahid rendah ke tingkat yang lebih tinggi: sang mujtahid naik melalui hierarki marja‘ìyyah lewat suatu proses yang mengombinasikan perkuliahan, seminar-seminar, dan publikasi-publikasi dalam bidang fiqih, sebagaimana pengembangan penerimaan dan dukungan dari para muqallid secara luas.[8]
Dengan demikian, untuk mendapatkan pemimpin yang diakui tertinggi tersebut “luar biasa sulit”. Berbagai proses di bawah ini diterangkan sebagai suatu tangga pengakuan, dengan tiga level:
  1. Pada dasar tangga, pilihan bebas para muqallid, yang memilih seorangmujtahid di antara pilihan lainnya dengan menyediakan dukungan, baik dalam jumlah besar (kian banyak jumlah muqallid, kian besar reputasi sangmujtahid) dan dalam intensitas taqlid mereka yang intensitasnya dievaluasi oleh dukungan finansial dan pengabdian religius.
  2. Orang-orang yang berpenglihatan, yaitu mereka yang, setelah melalui praktik panjang akan mengangkat seorang mujtahid menuju pada a‘lamiyya.
  3. Pengakuan Ayatullah-ayatullah yang telah ada. Prosesnya panjang, rumit dan tidak pasti. Mekanismenya adalah, seperti dalam kasus akses ber-ijtihadseorang ‘alim yang tengah menempuh pendidikannya, bergantung pada tujuan reputasi yang samar-samar.

Penutup
Sebagai negara muslim dengan jumlah penduduk yang besar, Iran mempunyai peranan yang sangat penting di kancah percaturan dunia Islam maupun global. Walaupun di kancah global kurang disukai negara-negara barat, namun keberadaaanya semakin diperhitungkan. Iran pasca revolusi semakin menunjukkan eksistensinya. Keberadaan tenega nuklis yang selama ini dituding oleh barat sebagai senjata rahasia tidak menyurutkan negara ini untuk semakin eksis.
Hal ini bisa sedikit kita mengerti jika kita melihat bagaimana di dalam negara iran itu sendiri. Iran dengan segala kelebihan dan kekurangannya sangat memperhatikan perkembangan intlektual dan pengetahuan. Hal ini sudah berlangsung sejak beribu-ribu tahun yang lalu, ketika kekaisaan Persia berkuasa hingga sekarang. Tidaklah mengherankan kiranya Iran menjadi negara yang diseganai di dunia internasional.

Kepustakaan
William Mongomery Watt,  Fundamentalisme Islam dan Modernitas. (Terj). Taufiq Adnan Amal. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 263.
M. Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (terj). Ghufron A. Mas’adii, Jakarta: Rajawali Pers, 1999
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)



[1] Mahasiswa progdi Tarbiyah Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
[3] Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
[4] William Mongomery Watt,  Fundamentalisme Islam dan Modernitas. (Terj). Taufiq Adnan Amal. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 263.
[5] Ibid....hal. 268-269.
[6] Ibid....hal. 269.
[7] M. Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (terj). Ghufron A. Mas’adii, Jakarta: Rajawali Pers, 1999.

No comments: