Oleh Syifaul Wahid.[1]
Pendahuluan
Islam menempatkan ilmu dan pengetahuan dalam
kedudukan yang tinggi. Bahkan orang melangkah untuk menuntut ilmu, langkahnya
dihitung sebagai perbuatan amal. Dalam peradaban umat Islam, ilmu pengetahuan
mempunyai peranan yang penting. Ilmu pengetahuan berfungsi sebagai penyangga
keberlangsungan peradaban Islam di suatu kawasan. Dengan adanya ilmu
pengetahuan yang berkembang dan
tradisi-tradisi intlektualisme dalam suatu peradaban, sudah barang tentu
peradaban tersebut akan berkembang dengan baik.
Intlektualisme yang berkembang tidak hanya
berupa perkembangan ilmu-ilmu keagamaan yang berdasarkan teks-teks agama (al-Qur,an
dan Sunnah). Melainkan juga perkembangan pengetahuan yanga berdasarkan
teks-teks agama dipadukan dengan penggunaan akal rasional secara proporsional.
Dengan demikian, perkembangan intlektual tidak saling bertentangan dengan
nilai-nilai keagamaan.
Secara geografis Iran (Persia) terletak
dikawasan benua asia bagian barat yang dikenal dengan kawasan timur tengah (middle-east).
Sejarah Iran sudah bermula sebelum Islam lahir. Saat itu terdapat kerajaan Persia
yang menempati wilayah Iran dan sekitarnya. Setelah Islam masuk ke Iran, lambat laun wilayah ini
menjadi salah satu kekuatan dalam Islam yang mempunyai pengaruh besar terhadap
perkembangan Islam. Dari berbagai uraian diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas
beberapa hal, yakni sejarah singkat Iran, perkembangan intlektual di Iran dan
kondisi intlektual keagamaan di Iran.
Pembahasan
A. Sejarah Singkat Iran
Bangsa Iran
berasal dari Ras Arya yang merupakan salah satu ras Indo-European. Migrasi
bangsa Arya ke berbagai belahan bumi seperti ke Asia kecil dan India dimulai
pada 2.500 Sebelum Masehi (SM). Peradaban di dataran tinggi Iran dimulai 600
tahun SM di mana saat itu terdapat 2 kerajaan yakni Parsa di sebelah Selatan
dan Medes di Timur Laut Iran.
Pada tahun 550
SM, Cyrus the Great berhasil merebut 2 kerajaan Persia tersebut, namun tidak
berhasil memperpanjang kekuasaannya. Pada 521 SM Raja Darius mendirikan Dinasti
Achaemenid hingga Darius III. Pada 323 SM, Alexander the Great berhasil
menaklukan Dinasti Achaemenid. Di masa Dinasti Parthian (Raja Mirthridates II) berhasil
menjalin hubungan dengan Cina dan Roma yang dikenal dengan perdagangan sutranya
(Silk Road). Pada 220 SM, Dinasti Sassanid mengakhiri kejayaan Dinasti
Parthian.
Setelah
peperangan selama 4 abad, seiring memudarnya Kerajaan Romawi, Kerajaan Persia
hancur dan diinvasi oleh Kerajaan Mesir dan Arab lainnya dan berhasil
menyebarkan agama Islam. Dari abad 7
hingga abad 16 Masehi, berbagai Dinasti keturunan Arab, Turki dan Mongol saling
berkuasa yakni Dinasti Abbasid, Dinasti Saffarian, Dinasti Samanid. Pada abad
ke 16 khususnya pada masa Kerajaan Savafid, tercapai masa kejayaan dalam bidang
kerajinan dan pembuatan karpet. Pada abad 17 Dinasti Afshar berkuasa, namun
kemudian digantikan oleh Karim Khan Zand yang mendirikan Dinasti Zand di
Selatan. Di sebelah Utara Suku Qajar berhasil mematahkan Dinasti Zand dan
mendirikan Dinasti Qajar hingga abad 19 dengan Rajanya yang terakhir bernama
Ahmad Shah.
Pada tahun 1921, terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh Reza Shah
Pahlevi yang kemudian menjatuhkan Ahmad Shah dan mengangkat dirinya sebagai
Raja Iran. Pada 1941, anaknya bernama Mohammad Reza Shah naik tahta hingga
terjadi Revolusi Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Imam Khomeini pada 1979. Berbagai
peristiwa menonjol sejak itu adalah pendudukan Kedubes Amerika Serikat,
1979-1981, invasi Irak
terhadap Iran pada 1980 yang menimbulkan perang selama 8 tahun (1980-1988) dan
sanksi ekonomi (energi) Amerika sejak 1996.[2]
B.
Perkembangan Intelektual di Iran.
Telah di akui, bahwa salah satu mercusuar
peradaban dunia pra Islam adalah Persia, disamping Yunani, Mesir, India, dan
Romawi. Tradisi keilmuan yang menjadi ciri khas sebuah perdaban maju, telah
mewarnai masyarakat Persia sehingga saat Islam menjadi agama yang mendominasi
di wilayahnya, tradisi keilmuan tersebut tetap terjaga dengan baik. Bahkan,
dapat dikatakan, mayoritas intelektual Islam klasik adalah bangsa non Arab
yakni Persia. Jika kita telusuri, perkembangan matang
keilmuan Islam di tangan bangsa Persia, selain memang penghargaan mereka
terhadap ilmu pengetahuan, adalah daya tarik Islam yang mengedepankan nalar dan
pemikiran dengan seabrek argumentasi-argumentasi untuk membuktikan
doktrin-doktrinya.
Sifat elastisitas namun penuh filter dari
ajaran Islam, tidak menafikan pentingnya ilmu pengetahuan, bahkan dengan
kreatifitas yang maju, para pemikir Islam telah berhasil memberikan sintesa
besar antara nalar dan wahyu yang dalam tradisi-tradisi agama lain, selalu
dipandang saling berseberangan. Untuk itu, jika dirunut secara
kronologis, perkembangan dan kemajuan peradaban Islam dalam ilmu pengetahuan,
sulit diidentifikasi dimana puncak kejayaanya. Karena, bagaikan air ia terus
mengalir dan senantiasa memperbaharui dirinya dari masa ke masa agar tetap
urgen dan tidak ketinggalan zaman.
Dengan demikian, jelaslah
bahwa tradisi keilmuan tidak pernah sirna di dunia Islam, terutama di Persia (Iran)
hingga kini, di mana beragam disiplin ilmu-ilmu kebanggan Islam yang bersifat aqliah
maupun naqliyah mendapat tempat yang semestinya. Ini membuktikan bahwa
usaha ijtihadi tidak pernah tertutup. Dalam filsafat misalnya,
nalar yang sering dituduh sesat dan tidak agamis ini pasca serangan al-Ghazali,
tetap mendapat tempat di Persia, bahkan mengalami kemajuan yang luar biasa,
sehingga bagi sebagian peneliti filsafat yang khas Islami justru baru
berkembang beberapa abad kemudian di mana para pemikir Syiah menjadi pelopor
utamanya.
Diantaranya adalah Suhrawardi (1153-1191 M)
yang berhasil membangun aliran baru dalam filsafat yang dikenal dengan Hikmah
Isyraqiyah (Illuminatif), kemudian al-Thusi (1201-1274 M), pemikir besar Syiah,
yang mengkaji nalar filosofis alIran masyaiyyah (Parepatetik)
cetusan Abu Ali ibn Sina (980-1037 M). Pada abad yang sama, di wilayah Barat, tepatnya
Andalusia, nalar ‘irfani (gnosis) dirumuskan
secara kreatif oleh Ibn ‘Arabi (1165-1240 M).
Dan puncaknya pada sintesa
orisinil dari pemikiran besar sang filosof agung Mulla Sadra (979-1050
H/1572-1640 M), yang mencetuskan tradisi filosofis baru yang hingga kini
mewarnai dan menjadi anutan resmi filsafat di Persia yang dikenal dengan Hikmah
Muta’aliyah (Teosofi Transenden). Atas usahanya tersebut, beliau mendapat
gelar Shadr al-Muta’allihin yang berarti Sang Pemimpin Filosof
Ketuhanan. Hikmah Muta’aliyah ini terus disosialisasikan dan dikembangkan oleh para murid Mulla
Sadra yang tersebar di berbagai kota, seperti Mulla Muhsin Faidz Kasyani
(1007-1091 H), Mulla Abdul Razaq Lahiji (w. 1071 H), Muhammad bin ‘Ali Ridho
bin Agha Jhani, dan Mulla Husayn Tankobani (w. 1105 H). Berikutnya
adalah Qadhi Said Al-Qommi (w. 1090 H) dan Agha Muhammad Beyd Abadi (w. 1097
H). Menariknya, karena serangan dari beberapa ulama ortodoks terhadap nalar
filosofis, para filosof ini kemudian juga mendalami ilmu-ilmu syariat seperti
hadits, tafsir, fiqih dan kalam, serta memberikan dasar-dasar pijakan yang kuat
bagi pengkajian kalam dari ilmu-ilmu tersebut.[3]
Meskipun memiliki perjalanan panjang, tradisi
filsafat Islam di Persia ini, mengalami perkembangan pesat pada saat Dinasti
Safawi memerintah (1502 M-1722 M). Aneka aliran pemikiran berkembang
dan berpusat di Isfahan sehingga dikenal sebagai mazhab Isfahan, dengan
tokohnya adalah Mir Damad (w. 1041 H/1631 M) dan Mir Findiriski (w. 1050 H/1641
M). Inilah cikal
bakal, untuk timbulnya suatu sintesa filosofis besar yang dicetuskan Mulla Sadra.
Sejak Dinasti Qajar berkuasa (1786-1925 M), tradisi tersebut tetap dan terus
berkembang. Teheran secara bertahap meningkat menjadi pusat studi filsafat.
Sejumlah guru besar terkenal muncul dan menghiasi dunia pemikiran Islam
seperti Mahdi Naraqi, Mulla Muhammad Kazhim Khorasani, Mulla Muhammad Kazhim
Sabzewari, Mulla Muhammad Reza Sabzewari, Mulla Muhammad Shadiq Shabagh
Sabzewari, Syekh Ali Fadhil Tibti, Mulla Muhammad Shadiq Hakim, Mirza Hakim
Abbas Darabi, Mirza Muhammad Yazdi, Mulla Ghulam Husein, dan banyak lagi tokoh
lainnya.
Di akhir priode Dinasti
Qajar hingga Dinasti Pahlevi berkuasa pada tahun 1925 M, kita juga mengenal
sederetan pemikir besar yang antara lain seperti Mirza Mahdi Asytiyani
(1306-1372 H), Sayyed Muhammad Kazim ‘Assar (1305-1394 H), dan Sayyid Abul
Hasan Qazwini (w. 1394 H/1975 M). Dengan seabrek fakta ini, Seyyed Hossein Nasr
meyimpulkan dengan tegas bahwa tradisi keilmuan kaum muslimin tetap
terjaga dan bertahan sejak masa klasik hingga kini. Tidak ada bukti kuat bahwa
tradisi intelektual Islam tersebut pernah vakum secara keseluruhan di dunia
Muslim, meskipun harus diakui terjadi pasang surut perkembangan di beberapa
wilayah kekuasaan Islam.
Meskipun begitu, harus
diakui bahwa perkembangan ilmu-ilmu Islam mengalami pasang surut antara
keilmuan syariat (seperti fiqih dan ushul fiqih) dengan ilmu-ilmu filsafat. Adakalanya
nalar filosofis mendapat tempat tertinggi, tetapi ada masanya pula ia
tersingkirkan dan diganti oleh nalar syariat. Di akhir Dinasti Qajar dan
memasuki Dinasti Pahlevi berkuasa (1925-1979 M), kondisi intelektual di Iran
dan Irak lesu dari pemikIran filsafat dan ‘Irfan, Bahkan para
ulama Syiah ortodoks memandang negative serta menolak pengajaran filsafat di
hauzah-hauzah ilmiah, baik di Iran maupun di Irak. Sebagai gantinya, para
ulama Syiah memuliakan ilmu fiqih dan ushul fiqih untuk mencapai gelar mujtahid. Kondisi ini
disikapi secara serius oleh ‘Allamah Thabathaba’i. Ia berjuang
keras mengembalikan filsafat kepada singgasananya. Usaha ini mendapat respon
keras dari sebagian ulama, termasuk Ayatullah Burujerdi, seorang marja
taklid yang paling berpengaruh saat itu. Namun, dengan segala
kegigihannya, Allamah Thabthabai berhasil meluluhkan perlawanan mereka dan
membuktikan pentingnya kembali di ajarkan filsafat di hauzah-hauzah ilmiah
Syiah. Bahkan, kegigihannya mengajarkan filsafat ini, menjadi alasan kuat
mengapa Allamah Thabathabi tidak menjadi marja’.
Buah dari usaha tersebut
adalah sederetan tokoh kaliber dunia yang diakui seperti Ayatullah Ali
Khamene’i, Ayatullah Murtadha Muthahhari, Ayatullah Behesyti, Ayatullah Behjat,
Ayatullah Montazeri, Ayatullah Ja’far Subhani, Ayatullah Nasir Makarim Syirazi,
Ayatullah Jalaluddin Asytiyani, Ayatullah Mehdi Ha’eri Yazdi, Ayatullah Taqi
Misbah Yazdi, Ayatullah Fadhel Lankarani, Ayatullah Musawi Ardabeli, Ayatullah
Ibrahim Amini, Ayatullah Hasan Zadeh Amoli, Ayatullah Jawadi Amoli, dan banyak
lagi lainya. Mereka
inilah yang hingga saat ini menjadi pewaris tradisi keilmuan di Iran. Menariknya,
pada saat ini, kekayaan tradisi keilmuan Iran juga di masuki oleh pemikiran-pemikiran komparatif
ilmu-ilmu modern dan filsafat Barat. Materialisme, eksistensialisme, marxisme,
positvisme, dan beberapa aliran pemikIran
Barat lainnya mulai diulas dan dikomentari serta dikritisi oleh para mullah ini.
Sehingga tidaklah menjadi asing di tanah Iran untuk mengutarakan pikiran-pikiran seperti
Sartre, Immanuel Kant, Descartes, Charles Darwin, Betrand Russel, Thomas
Aquinas, Fransisco Bacon, bahkan Karl Marx atau Nitszhe, dan lainnya.
Untuk lebih jauh mengetahui bagaimana tradisi
keilmuan di Iran, Muhsin Labib memetakan enam corak pemikiran yang
mewarnai Iran sebagai berikut:
- Rasionalisme-Tekstualisme. Corak Ini cenderung menjadikan rasio sebagai dasar pemikiran, yang kemudian mengaitkannya dengan teks-teks agama sebagai pembenarnya. Tokohnya antara lain Ayatullah Murtadha Muthahhari dan Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari.
- Tekstualisme-Rasionalisme. Corak ini sebaliknya menjadikan teks-teks agama sebagai postulat dan menjadikan rasio sebagai alat pendampingnya. Tokohnya adalah Ayatullah Nashir Makarim Syirazi dan Ayatullah Ja’far Subhani.
- Tekstualisme–Rasionalisme–Teosofisme. Ini merupakan corak pemikiran yang menggabungkan rasio, teks-teks agama dan ‘irfan. Tokohnya adalah Ayatullah Jawadi Amuli.
- Teosofisme. AlIran ini mengutamakan ‘irfan dalam memahami realitas. Tokohnya adalah Ayatullah Hasan Zadeh Amuli.
- Rasionalisme-Modernisme. Pemikiran ini diisi oleh sejumlah filosof yang terdidik secara modern dan pernah berguru kepada ‘Allamah Thabathaba’i seperti Ayatullah Mehdi Ha’eri Yazdi dan Seyyed Hossein Nasr.
- Neo-Parapatetisme. Ini adalah aliran yang secara metodologis hampir sama dengan pemikIran Ibn Sina. Sebab, aliran ini sering mengandalkan deduksi dalam telaahannya. Salah satu tokohnya adalah Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi.
Sedangkan, berkaitan dengan perkembangan Sadraisme (pengaruh tradisi
filsafat Mulla Sadra), pada saat ini pemikir-pemikir Iran terbagi atas beberapa
kelompok.Pertama, kelompok mediator murni filsafat Mulla Shadra. Kelompok ini
hanya mengajarkan dan menguraikan pandangan Sadra tanpa melakukan penambahan
dan kritik. Kelompok ini seperti Ayatullah Hasan Zadeh Amuli. Kedua,
kelompok kritikus Sadra. Kelompok ini mengkritisi sebagian argumen Mulla Shadra
dan sistematika bukunya, terutama tentang pola pembagian dan pengurutan
sub-tema. Filosof yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Ayatullah Jawadi
Amuli. Dan ketiga, kelompok pembaharu. Yaitu kelompok yang
melakukan kritik dan berusaha mengubah sebagian struktur bangunan filsafat
dengan menawarkan sistematika baru dalam penyajian dan pengajaran filsafat Islam.
Kelompok ini dipelopori oleh Ayatullah Muhammad Taqi Mizbah Yazdi.
Meskipun demikian, ketiga kelompok ini menyepakati tema-tema yang merupakan
prinsip utama dalam Mazhab Qum.
Jika kita cermati, salah satu kelebihan Syiah adalah doktrin keterbukaan
pintu ijtihad dan keharusan adanya faqih dalam setiap masa,
sehingga membuat komunitas ini senantiasa berusaha dengan semaksimal mungkin
menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung tumbuh suburnya tradisi keilmuan
sebagai sayarat penting melahirkan para faqih dan ulama-ulama yang mumpuni
dalam Islam.
C.
Kondisi Intlektualisme Keagamaan di Iran.
Dalam strata
sosial-keagamaan masyarakat Islam Syiah terbagi pada tiga golongan,
yaitu: pertama, strata elit yang disebut mujtahid. Kedua, strata
menengah yang disebut muhtath, dan ketiga, strata
awam yang disebut muqallid. Mujtahid adalah orang yang memiliki kemampuan berijtihad. Yaitu pribadi-pribadi
yang memiliki kemampuan untuk mengistinbath (mengeluarkan)
syariat Islam dari sumber-sumbernya yang asli (al-Quran, sunnah, ijma dan
akal). Dalam
konsep Syiah, ijtihad selalu terbuka, tetapi tidak semua orang
dipandang mampu melakukannya.
Orang yang tidak mampu
inilah yang disebut Para muqallid, yaitumasyarakat umum yang
tidak memiliki kompetensi secara intelektual maupun keagamaan untuk menemukan
hukum-hukum Tuhan dari sumbernya sebagai sarana untuk pengabdian dalam ibadah
kepada Allah swt. Karenaya para muqallidadalah orang yang tidak
mampu berijtihad, maka harus menyerahkan urusannya kepada ulama mujtahid yang
disebut marja’. Kepada marja’, mereka bukan
saja menyerahkan keputusan-keputusan agama, melainkan juga memberikan zakat dan khumus. Tetapi, kalau
ulama itu cacat atau bersalah, umat dengan serentak akan meningggalkan ulama
tersebut. Sistem ini melahirkan ulama yang secara alami terseleksi, bebas dari
penguasa, dan berakar di masyarakat. Adapun muhtath adalah
lapisan tengah yang memilki kemampuan untuk memilih dan memilah pandangan para
mujtahid (marja’).
Seorang alim yang memenuhi kriteria-kriteria
dalam konsep Wilayah al-Faqih biasanya
menjadi marja’`i taqlid yang bergelar mujtahid atau
yang lebih popular dengan sebutan Ayatullah. Kepada merekalah,
masyarakat umum bertaklid dalam urusan ibadah praktis individual mereka.
Konsep taqlid secara umum diterjemahkan sebagai peniruan atau
pengikutan, lebih tepat lagi bermakna bertindak selaras
dengan aturan-aturan yang ditetapkan mujtahid yang telah dipilih
seeorang untuk ditiru atau diikuti. Kandungan konsep ini dirumuskan secara
panjang lebar oleh Murtadha Ansari, dan pemikirannya
membentuk pijakan bagi strukturisasi dan organisasi lembaga keagamaan dalam
penjenjangan tidak resmi.
Terkadang terdapat sumber taklid tertinggi pada
puncak piramid. Penjenjangan ini tercapai lewat sejenis kesepakatan tidak resmi
dan alami. Kekuatan para ulama semakin menguat pada 1978 dan pasca revolusi Iran
pada 1979, yang mana dewan ulama memiliki suatu lembaga sangat kuat yang dapat
menyebarkan pemikIran dan perintah mereka dengan cepat ke seluruh negeri.[4]
Dengan berkembangnya
kekuasaan lembaga keagamaan, timbul suatu perdebatan sampai sejauh mana ijtihad dibolehkan,
yakni apakah dalam suatu situasi baru ulama pada masa itu bisa menerapkan
prinsip-prinsip syariah dalam suatu cara yang baru? Menjelang tahun 1600 suatu
mazhab hukum terbentuk dan menghendaki pembatasan hak melakukan penyesuaian
baru syariah dan mewajibkan ulama hanya mengikuti putusan-putusan para Imam
seperti yang terdapat dalam laporan-laporan yang diriwayatkan dari mereka. Mazhab ini
dikenal sebagai mazhab Akhbari,dan berpengaruh pada masa keruntuhan
dinasti Safawi (1722) dan di sebagian besar abad ke-18. [5]
Periode sejak kejatuhan
dinasti Safawi hingga berkuasanya dinasti Qajar pada penghujung abad ke-18
merupakan masa yang sulit bagi ulama Syiah Imamiyah, karena Iran
menjadi sasaran para penyerbu dan penguasa Afghan yang sebagian besarnya
bersimpati kepada Sunni dan mencabut beberapa hak istimewa ulama Imamiyah. Namun
dipenghujung abad ke-18, suatu mazhab muncul di kalangan Syiah Imamiyah
Irak yang dikenal sebagai mazhab Ushuli. Mazhab ini memandang
bahwa ulama-ulama tertentu memiliki hak ijtihad, dan bahwa kaum Muslim awam
mesti meniru atau mengikuti keputusan-keputusan para mujtahid maupun keputusan
para Imam, bahkan setiap
Muslim harus memilih seorang mujtahid untuk di-taklid-i. Di bawah
Syah-Syah Qajar, mazhab ushuli sangat berpengaruh, dan ulama
memperoleh kembali kekuasaan dan hak-hak istimewa yang telah hilang.[6]
Demi memenuhi tuntutan
pengkaderan ulama, maka masyarakat dan ulama-ulama Syiah berinisiatif
mengembangkan pusat pendidikan tradisional yang dikenal dengan hauzah yang
dipusatkan dibeberapa kota suci tertentu seperti Qum dan Masyhad di Iran,
serta hauzah Najaf dan hauzah Karbala di
Irak. Sejak Revolusi Islam,
posisi hauzah semakin kuat,
bahkan para ulama yang membawahi pusat-pusat hauzah ini tergabung
dalam suatu badan yang disebut Majma al-Mudarrisin. Dengan
perannya yang dominan tersebut, maka ulama memiliki kekuatan ideologis di tengah
masyarakat sekaligus memiliki kekuatan mobilisasi sosial yang luar biasa yang
dapat berimbas pada dimensi politik, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.[7] Menjadi faqih bukanlah pemberian gratis
ilahiah, melainkan usaha ikhtiari yang penuh perjuangan dan
pengorbanan untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan, baik itu pada
dimensi keilmuan, keterampilan, maupun kepribadian. Karenanya,
program pendidikan yang sitematis dan integratif diperlukan untuk memberikan
sarana bagi terciptanya pribadi unggul dalam komunitas Islam.
Tiga level, atau periode-periode (halaqat), diperlukan
seorang calon mujtahid Syiah untuk menuntaskan studinya. Tidak
ada ujian ataupun batas waktu tertentu untuk menyelesaikan pelajaran. Tujuan
para pelajar sangat jelas, ia harus memperoleh pelajaran yang cukup untuk
menjadi seorang mujtahid, sebuah gelar “yang hanya dicapai
oleh pelajar-pelajar yang paling cemerlang”. Rata-rata, dua periode kombinasi
pertama memerlukan minimal waktu selama 10 tahun. Para pelajar memulainya pada
usia muda, secara umum di antara 14 hingga 20 tahun.
Pada level pertama disebut muqaddimah; para
siswa mempelajari tata bahasa, tata kalimat (sintaksis), retorika dan logika.
Dalam bidang tata bahasa di antaranya adalah karya Ibnu Hisyam (w.
761/1360) Qatrh al-Nida dan al-Ajurumiyah, sebagai
ringkasan dari karya Ibnu Malik (w. 672/1273) Alfiah. Dalam
bidang retorika di antaranya adalah karya Taftazani (w. 686/1287) al-Muthawwal dan al-Mukhtashar, danJawahir
al-Balaghah karya al-Hisyam dari abad ke-14. Dalam logika, para siswa
membaca HaSyiah karya Najafi (w. 981/1574), dan Syamsiyyah karya
Quthb al-Din al-Razi. Dalam Ushul al-Fiqh, digunakan kitab Ma‘alim karya
Hasan ibn al-Syahid al-Tsani (w. 966/1559), kitab Ushul
al-Istinbath karya Haidari, dan karya Muhammad Baqir al-Shadr, al-Ma‘alim
al-Jadida. Dalam Fiqh, digunakan tulisan al-‘Allamah al-Hilli (w.
726/1325) Tabsyirah dan Mukhtasar al-Naf, tulisan
Muhammad Khazim al-Thabathaba‘i (w. 1337/1919) al-‘Urwah
al-Wutsqa, dan karya Muhsin al-Hakim (w. 1970) Minhaj
al-Shalihin.
Periode kedua
disebut suthuh. Selain ushul al-fiqh, dalam
jenjang suthuh juga diperkenalkan studi substansi fiqih
(yurisprudensi) deduktif (al-fiqh al-istidlal). Secara umum,
kursus-kursus diselenggarakan berbentuk tutorial yang melibatkan 7 hingga 10
siswa, jarang-jarang lebih dari 20 orang, sesi-sesi berakhir antara setengah
jam hingga satu jam. Para siswa yang absen berulang-ulang atau yang tampaknya
tidak mampu melanjutkan kelas berikutnya disarankan untuk mengundurkan diri,
atau kembali pada kelas yang lebih mudah. Shutuh membutuhkan
tiga hingga lima tahun, terkadang lebih lama lagi. Pada akhir periode tersebut,
para siswa akan dipertimbangkan sebagai seorang murahiq, yang
bermakna “dewasa”. Gelar ini menunjukkan batas kemampuannya pada kedewasaan
yang dituntut untuk berijtihad.
Tahap ketiga, yang
merupakan bagian paling maju dari kurikulum, seperti dapat diperhatikan, sang
guru pada tingkat ketiga ini mutlak bebas untuk merencanakan kursusnya sendiri,
memilih argumen-argumen yang disukainya, dan berakhir dengan sebuah opini baru,
dan dengan pendekatan yang matang yang akan sangat berbeda dengan
pendahulu-pendahulunya. Dengan menyelesaikan ketiga jenjang pendidikan
tersebut, maka seorang pelajar telah menyematkan kompetensi yang diakui. Dalam
kondisi ini, ia telah siap untuk berjuang dan berkarya secara kreatif
mengiplementasikan keilmuan untuk diuji riruang terbuka masyarakat Syiah. Di
sini, ia bergerak menuju hirarki terhormat para ulama, mujtahid,
dan marja’. Kecenderungan
umum menunjukkan, hierarki di dalam mujtahid-mujtahidmerefleksikan
tahap-tahap awal masa pengajaran.
Murid-murid yang bangkit
melewati beragam tahap masa pengajaran melalui sebuah proses yang terutama
berdasar pada beraneka kriteria yang mengakui bakat/kecerdasan untuk berijtihaddidasarkan
pada reputasi dan pengakuan (atasnya). Sebagaimana dengan murahikmenuju mujtahid, demikian
pula dengan pendakian dari mujtahid rendah ke tingkat yang
lebih tinggi: sang mujtahid naik melalui hierarki marja‘ìyyah lewat
suatu proses yang mengombinasikan perkuliahan, seminar-seminar, dan
publikasi-publikasi dalam bidang fiqih, sebagaimana pengembangan penerimaan dan
dukungan dari para muqallid secara luas.[8]
Dengan
demikian, untuk mendapatkan pemimpin yang diakui tertinggi tersebut “luar biasa
sulit”. Berbagai proses di bawah ini diterangkan sebagai suatu tangga
pengakuan, dengan tiga level:
- Pada dasar tangga, pilihan bebas para muqallid, yang memilih seorangmujtahid di antara pilihan lainnya dengan menyediakan dukungan, baik dalam jumlah besar (kian banyak jumlah muqallid, kian besar reputasi sangmujtahid) dan dalam intensitas taqlid mereka yang intensitasnya dievaluasi oleh dukungan finansial dan pengabdian religius.
- Orang-orang yang berpenglihatan, yaitu mereka yang, setelah melalui praktik panjang akan mengangkat seorang mujtahid menuju pada a‘lamiyya.
- Pengakuan Ayatullah-ayatullah yang telah ada. Prosesnya panjang, rumit dan tidak pasti. Mekanismenya adalah, seperti dalam kasus akses ber-ijtihadseorang ‘alim yang tengah menempuh pendidikannya, bergantung pada tujuan reputasi yang samar-samar.
Penutup
Sebagai negara muslim dengan jumlah penduduk
yang besar, Iran mempunyai peranan yang sangat penting di kancah percaturan
dunia Islam maupun global. Walaupun di kancah global kurang disukai
negara-negara barat, namun keberadaaanya semakin diperhitungkan. Iran pasca
revolusi semakin menunjukkan eksistensinya. Keberadaan tenega nuklis yang
selama ini dituding oleh barat sebagai senjata rahasia tidak menyurutkan negara
ini untuk semakin eksis.
Hal ini bisa sedikit kita mengerti jika kita
melihat bagaimana di dalam negara iran itu sendiri. Iran dengan segala
kelebihan dan kekurangannya sangat memperhatikan perkembangan intlektual dan
pengetahuan. Hal ini sudah berlangsung sejak beribu-ribu tahun yang lalu,
ketika kekaisaan Persia berkuasa hingga sekarang. Tidaklah mengherankan kiranya
Iran menjadi negara yang diseganai di dunia internasional.
Kepustakaan
William
Mongomery Watt, Fundamentalisme
Islam dan Modernitas. (Terj). Taufiq Adnan Amal. (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997), h. 263.
M. Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (terj).
Ghufron A. Mas’adii, Jakarta: Rajawali Pers, 1999
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi,
Filsafat dan Gnosis.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996)
[3] Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi,
Filsafat dan Gnosis.(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996).
[4] William Mongomery Watt, Fundamentalisme Islam
dan Modernitas. (Terj). Taufiq Adnan Amal. (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997), h. 263.
[7] M. Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (terj). Ghufron A.
Mas’adii, Jakarta: Rajawali Pers, 1999.
No comments:
Post a Comment